Ada rasa marah yang tertahan di dada ketika menyaksikan tayangan salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, yang menampilkan kehidupan pesantren secara karikatural dan menyesatkan.
Dalam tayangan itu, digambarkan santri berjalan menunduk seperti budak, mencium tangan kiai yang digambarkan bergelimang kemewahan sarung mahal, rumah megah, mobil mewah bahkan ada adegan santri memberikan amplop kepada kiai.
Semua itu dibungkus dalam narasi yang seolah-olah “realitas,” padahal sesungguhnya penghinaan. Bukan hanya kepada para santri, tapi juga kepada nilai luhur yang selama ratusan tahun menjadi pondasi moral bangsa.
Namun ketika televisi menampilkan adegan itu sebagai sindiran sosial, maknanya bergeser. Santri ditampilkan sebagai korban feodalisme, dan kiai digambarkan sebagai simbol kekuasaan. Padahal, di balik itu semua ada relasi spiritual yang mendidik: kiai membimbing dengan cinta, santri berkhidmat dengan hormat.
Amplop dan Kesalahpahaman yang Disengaja
Adegan santri memberi amplop ke kiai adalah bentuk pelecehan yang paling telanjang.
Bagi santri, memberi sesuatu kepada kiai adalah bentuk tabarruk mencari berkah dari guru yang telah mendidiknya dengan ikhlas.
Tapi bagi logika televisi yang dikuasai rating, semua itu dilihat dengan kacamata duniawi: uang, transaksi, kepentingan.
Padahal, di dunia pesantren, kiai justru sering memberi lebih banyak daripada menerima.
Berapa banyak kiai yang menanggung makan ratusan santri, yang membantu biaya pendidikan dari kantong sendiri, tanpa pamrih, tanpa kamera, tanpa sorotan.
tapi semacam itu tak pernah menjadi sorotan layar kaca. ironisnya yang ditampilkan hanya potongan yang paling dangkal, yang mengundang tawa, dan memperkuat prasangka.
Framing Media yang Menyesatkan
Trans7 seharusnya memahami tanggung jawab sosialnya sebagai media publik. Tayangan yang menampilkan santri secara negatif bukan hanya bentuk kelalaian, tapi juga cermin kurangnya literasi budaya di ruang redaksi. Pesantren bukan lembaga feodal, melainkan lembaga pendidikan yang membentuk karakter, akhlak, dan jiwa kebangsaan.
Media seharusnya menjadi jembatan pengetahuan, bukan sumber kesalahpahaman. Ironisnya, dalam logika rating dan hiburan, simbol keagamaan sering dijadikan komoditas. Nilai luhur pesantren dipelintir menjadi bahan olok-olok. Hasilnya: masyarakat awam kehilangan arah untuk menilai kebenaran.
Santri harus Ambil Sikap
Kemarahan santri terhadap tayangan Trans7 harus menjadi momentum refleksi. Kita tidak bisa hanya protes di media sosial. Santri harus belajar menguasai media, menulis, membuat film, dan membangun narasi sendiri tentang dunia pesantren. Siapa yang menguasai layar, dia yang menguasai persepsi.
Kita tidak anti kritik. Tapi yang kita tolak adalah pelecehan terhadap nilai. Pesantren bukan ruang gelap yang harus ditertawakan, melainkan lentera yang menerangi sejarah bangsa.
Santri menunduk bukan karena takut, tapi karena tahu batas adab.
Kiai bersarung bukan simbol kemewahan, tapi lambang keanggunan ilmu.
Dan pesantren bukan masa lalu yang feodal, tapi masa depan yang bermoral.
Penulis : Achmad Nashiruddin (Ketua PC IPNU Bojonegoro)