Prinsip Perjuangan merupakan konsepsi ideologis, yang sudah semestinya mendenyut dalam nadi-nadi perjuangan jam’iyah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Sedari mukadimahnya, ia menegaskan diri sebagai pandangan hidup bagi setiap kader dan anggota, yang mewujud dalam landasan berfikir (baca: berpikir), bertindak, berperilaku, dan berorganisasi.
Bila Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT) boleh dikatakan sebagai syariatnya IPNU, dalam arti aturan legal formalnya. Maka Prinsip Perjuangan adalah akidahnya, yang berupaya mengejewantahkan pesan teologis menjadi khalifah di bumi, demi terciptanya rahmat kasih sayang bagi umat manusia dan seluruh alam raya.
Sehingga menjadi penting bagi kita untuk mengenal Prinsip Perjuangan kembali, yang merupakan paradigma gerakan IPNU. Mengapa demikian? Karena sebetulnya kita sudah akrab dengannya. Di mana pijakan-pijakannya cukup familiar di telinga rekan-rekan semua, hingga membentuk pemikiran, dan saban hari kita perjuangkan dalam tindakan.
Yakni manifestasi dari Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926. Menurut buku Khazanah Aswaja (2016), berdasarkan paham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia. Sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Dalam konteks IPNU, hal demikian tentunya telah cukup tersampaikan dalam kerja-kerja kaderisasi, maupun berbagai forum diskusi.
Tetapi dengan menelaah kembali sebuah pijakan paradigmatik IPNU, kita lebih bisa menyelami kandungannya secara detail dan rinci, hingga mencapai pemahaman yang fundamental. Justru akan menambah semangat dedikasi yang tinggi, karena lelaku organisatoris yang kita jalani tidak lagi hampa makna dan seremonial belaka.
Sedari silabus buku Hasil Kongres XIX IPNU (2018), Prinsip Perjuangan ini diawali dengan Landasan Historis. Di mana IPNU telah mengalami tahapan sejarah dalam tiga periode: perintisan, pendirian, pertumbuhan dan perkembangan.
Beriringan dengan gejolak politik nasional yang turut mempengaruhi dinamika organisasi. Misalnya depolitisasi pelajar di masa Orde Baru, sampai IPNU pernah mengubah akronim “pelajar” menjadi “putra”, karena melarang adanya organisasi pelajar selain OSIS. Bahkan dampaknya terasa hingga sekarang, di mana kita sering kesulitan masuk lingkungan sekolah, terutama sekolah-sekolah negeri.
Selanjutnya mengenai Landasan Berpikir, Landasan Bersikap, dan Landasan Bertindak, ketiganya berangkat dari ajaran Aswaja An-Nahdliyah. Seperti halnya pola berpikir yang teratur dan runtut dengan memadukan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits), dalil aqli (akal budi), dan dalil waqi’i (yang berbasis pengalaman). Singkatnya, IPNU tak memilih menjadi sekuler maupun tekstual, melainkan sebuah proses pergerakan iman yang mewujud dalam seluruh aspek kehidupan.
Di dalam Landasan Bersikap, merinci nilai-nilai yang diharapkan bisa membentuk watak kader IPNU. Di antaranya, nilai Keagamaan (diniyyah); Keilmuan, Prestasi, dan Kepeloporan; Sosial Kemasyarakatan; serta menjunjung tinggi Keikhlasan dan Loyalitas.
Mengenai Sosial Kemasyarakatan, kita harus mendahulukan kepentingan publik daripada hasrat pribadi, serta siap memelopori perubahan yang membawa kemaslahatan. Artinya bukan sekedar menjadi massa mengambang (floating mass) yang mudah ditunggangi kepentingan, misalnya menjadi pelaksana program penguasa yang seringkali jauh dari kepentingan publik.
Kemudian Landasan Bertindak IPNU berpedoman pada lima prinsip dasar (al-Mabadi al-Khamsah), disebut juga Mabadi Khaira Ummah dari hasil keputusan Munas Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992.
Kelima dasar tersebut meliputi: As-Shidqu (kejujuran, kesungguhan, dan keterbukaan); Al-Amanah wal Wafa bil ‘Ahdi (dapat dipercaya, setia dan tepat janji); Al-‘Adalah (obyektif, berintegritas, proporsional dan taat asas); At-Ta’awun (tolong menolong, setia kawan dan gotong royong dalam kebaikan); dan Istiqomah (berkesinambungan dan berkelanjutan).
Selain itu, ada Landasan Berorganisasi yang berpijak pada delapan asas, sebagai berikut. Pertama, Ukhuwah, persaudaraan dan jalinan solidaritas IPNU. Mulai dari Ukhuwwah Nahdliyyah (solidaritas kaum nahdliyin), Ukhuwwah Islamiyyah (solidaritas sesama umat Islam), Ukhuwwah Wathaniyyah (solidaritas nasional), hingga Ukhuwwah Basyariyyah (solidaritas kemanusiaan).
Ukhuwah yang terakhir ini, menegaskan bahwa NU turut pula menjunjung solidaritas umat manusia sedunia. Seperti menolak penjajahan bangsa atas bangsa lainnya (kolonialisme), yang lahir dari rezim imperialisme. Maupun yang hari ini berwujud neo-imperialisme, berupa penjajahan gaya baru terhadap negara-negara terbelakang, termasuk Indonesia sendiri.
Dalam buku Menaja Jalan (2019) menyebut, kebijakan negara semenjak Orde Baru telah didominasi kepentingan rezim kapital internasional. Di mana Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) atas komando Amerika Serikat, telah menggelontorkan dana (hutang) demi pembangungan insfratuktur dan proyek-proyek strategis.
baca juga : IPPNU Wadah Ngaji, Emansipasi dan Melawan Budaya Patriarki
Termasuk UU Cipta Kerja yang digolkan pada 2020 lalu, juga demi investasi kapital global yang mengorbankan nasib masyarakat. Padahal pengurus teras PBNU telah menolak jauh hari sebelumnya, karena sarat akan kezaliman (CNN, 28/04/20). Maka bagi IPNU, penciptaan dunia yang adil tanpa penindasan menjadi keniscayaan.
Kedua, Amanah, sebagaimana manifestasi dari nilai al-Mabadi al-Khamsah di atas. Ketiga, Ibadah, yakni semangat pengabdian yang murni. Supaya IPNU tidak dijadikan tempat mencari penghidupan, atau menjadi batu loncatan untuk meraih kepentingan pribadi maupun golongan. Keempat, Asketik, artinya aktivis IPNU dituntut hidup sederhana, tahu batas, dan kepantasan. Demi meneguhkan idealisme dan semangat pengabdian tanpa pamrih duniawi.
Kelima, Non-Kolaborasi, yakni menolak kerjasama yang tak sehat bagi organisasi maupun merugikan kemaslahatan umum. Mengingat banyak lembaga donor, perusahaan, ataupun instansi pemerintahan yang menawarkan kolaborasi dalam agenda mereka. Dampaknya seringkali menjadi ketergantungan dan mengaburkan khittah perjuangan.
Keenam, Komitmen Para Korp, artinya seluruh anggota korp (ikatan) organisasi, secara bulat meyakini pandangan hidup dan prinsip organisasi. Ketujuh, Kritik-Otokritik, saling mengoreksi dan introspeksi diri untuk mengatasi kemandekan dan penyimpangan organisasi. Kedelapan atau yang terakhir, Learning Organization (organisasi pembelajaran), yakni kesadaran untuk selalu belajar, dalam aspek pemikiran, perilaku, maupun penataan mental.
Menjelang akhir, Prinsip Perjuangan menegaskan Jati Diri IPNU, yang melingkupi tentang Hakikat dan Fungsi IPNU, lalu Posisi IPNU di dalam internal NU maupun di luar lingkungan NU (eksternal). Terakhir mengenai Orientasi IPNU yang memiliki corak wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan wawasan keterpelajaran.
Kemudian menutupnya dengan Orientasi Aksi. Berupa trilogi gerakan yang tiap kali kita jargonkan, yaitu Belajar, Berjuang, dan Bertaqwa (baca: Bertakwa). Di mana IPNU menjadi wadah pembelajaran yang kesinambungan, dan dimensi “belajar” sendiri menjadi satu perwujudan proses kaderisasi.
Selain menjadi medan “berjuang” untuk kemaslahatan umat manusia, sebagai perwujudan dari mandat sosial yang kita emban bersama. Dan semua gerak langkah kita orientasikan sebagai ibadah, segala yang kita lakukan selama ber-IPNU dalam kerangka “bertakwa” kepada Allah, Tuhan alam semesta.
Pada akhirnya, tanpa terasa tulisan ini menjadi kritik-otokritik tersendiri, tentu saja teruntuk penulis pribadi maupun rekan pembaca secara luas. Memperingatkan kita semua yang pernah atau yang masih terlena akan kepentingan sesaat, daripada memajukan organisasi dan kemaslahatan umat manusia.
Maka berangkat dari sini, kaum terpelajar IPNU dengan keyakinan ideologisnya, tak akan begitu mudah dibodohi, ditunggangi, dan memikirkan masa depannya sendiri-sendiri. Semoga.
Ruri Fahrudin Hasyim, (Tinggal di Bantaran Bengawan Solo, bergiat di Departemen Jaringan Pesantren PC IPNU Bojonegoro)