IPNU IPPNU BOJONEGORO – Bagi sebagian orang, film dokumenter memang tidak semenarik drama Korea yang saat ini sedang digandrungi oleh kalangan remaja. Namun, film Kinipan yang baru saja tayang menjadi salah satu film yang hangat diperbincangkan dan menjadi objek Nonton bareng (Nobar). Seperti yang dilaksanakan Pimpinan Ranting (PR) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama’ (IPPNU) Desa Nglarangan pada Minggu malam, (11/04/2021).
Kegiatan yang digelar di Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) ini dirangkai dengan penggalangan dana untuk korban bencana di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui kotak berjalan yang sudah disediakan panitia.
Ruri Fahrudin, pemantik pertama mengatakan, Film Kinipan ini merupakan film yang diproduksi oleh Watch Doc dengan mengambil setting lokasi di berbagai daerah Indonesia, seperti Bengkulu, Jambi, hingga Kalimantan Tengah. Menariknya, Film yang berdurasi lebih dari dua jam ini menjelaskan fakta ilmiah tentang virus Corona yang setahun ini merubah tatanan hidup.
“Dari film ini kita sadar pentingnya melestarikan lingkungan hidup. Adanya banjir saat hujan, kebakaran saat kemarau, tanah longsor, dan beberapa bencana yang terjadi adalah dampak dari penebangan dan kerusakan alam. Parahnya lagi, kerusakan alam tersebut juga mengakibatkan munculnya pandemi,” tutur laki-laki yang akrab disapa Ruri itu.
Lebih lanjut, Direktur Lembaga Minat dan Bakat itu menyebut hilangnya ekosistem virus yang seharusnya berada di hutan, pada akhirnya berpindah ke habitat manusia. Sehingga, meskipun tidak terdampak secara langsung, kerusakan alam ini akan tetap berakibat untuk keberlangsungan hidup.
“Dengan begitu, alam justru akan merugikan banyak pihak” tambahnya.
Selain menyoal perkara lingkungan, lanjut Ruri, Film Kinipan ini juga mengangkat tentang restorasi ekosistem yang kontradiktif antara pengelola perusahaan dengan masyarakat adat. Kerusakan hutan dan masyarakat tersingkir juga terjadi di tempat lain. Melihat persoalan Kinipan bisa terjadi karena ada aturan dan sistem yang jauh di luar laman mereka
Sementara Lailatul Farikhah Al Isroiyyah, Pemantik kedua menjelaskan, meski tidak semiris yang ada dalam film, di daerahnya sendiri juga terdapat permasalahan yang sama. Proyek pembangunan yang membuat daerah sekitar Bengawan Solo kehilangan potensi alamnya.
“Jika berbicara akses memang dengan adanya proyek-proyek baru semua nampak lebih mudah, namun kita juga perlu memperhatikan sektor-sektor lain yang terdampak adanya perusahaan itu”
Perempuan yang akrab disapa Farikha itu juga mengatakan, film ini menyadarkan bahwa dalam siklus kehidupan ini kita tidak hanya hidup bersama manusia. Ada ekosistem-ekosistem lain yang harus dirawat dan dipertahankan, yang sebenarnya juga untuk menunjang kehidupan manusia itu sendiri.
“Contoh kecil yang dapat kita lakukan untuk ikut andil menjaga alam adalah dengan mengurangi sampah plastik, melakukan tebang pilih, dan berbagai kegiatan sederhana tapi berpotensi untuk pemberdayaan alam. Kalau kita belum bisa melakukan hal besar untuk perubahan, kita bisa memulai dari diri sendiri dengan hal-hal sepele, namun berdampak untuk lingkungan sekitar,” pungkas Farikha. (LulukNR)