Bagikan ke

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia yang lahir pada tahun 1926 di Surabaya. Bicara soal NU, yang terbayang tentu K.H. Hasyim Asy‘ari selaku Rais Am pertama dan sebagai figur yang disegani oleh berbagai ulama tanah air, tetapi ketika menilik lebih jauh kisah tentang sejarah berdirinya NU tentu tidak lepas dari buah atau hasil pemikiran, perjuangan serta peran Kiai Wahab Hasbulllah dalam upaya mendirikannya. Beliau merupakan seorang ulama yang mempunyai ide-ide brilian terhadap lahirnya NU. Dari pemikiran-pemikirannya itulah, ia diterima oleh banyak kalangan, baik kalangan tradisionalis, modern dan komunis. 

Kepeduliannya melindungi tradisi dengan nilai-nilai keagamaan membuatnya mampu menjadi ulama besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia, juga mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah-masalah sosial yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat itu, dimana masyarakat Indonesia masih terbelakang secara pendidikan dan dijajah oleh Jepang. Kepeduliannya terhadap masyarakat tentu terlihat pada jiwanya yang ikhlas berjuang, demi tercapainya perubahan besar serta kesadaran bagi masyarakat Indonesia.

Tidak banyak ulama yang lebih kontroversial dalam sejarah Indonesia modern daripada Wahab Hasbullah. Selama setengah abad terakhir, dalam berbagai peristiwa yang berkaitan dengan Islam dan hadir dengan sepak terjangnya yang menimbulkan emosi kuat. Wahab Hasbullah adalah ulama yang penuh dengan inspirasi dan dinamis, yang tampil dengan kepeminpinan yang tegas bagi kalangan muslim tradisionalis pada saat-saat krisis. Beliau ibarat Trequartista dalam sepak bola: jenderal permainan yang bukan saja memahami kapan masa bertahan dan kapan masa menyerang, tapi juga fasih memainkan gerakan tanpa bola. Di saat bersamaan, seorang Trequartista juga jeli membaca taktik dan strategi permainan lawan. 

Trequartista berasal dari bahasa Italia yang berarti ‘‘tiga perempat”. Hal ini merujuk pada peran seorang pemain di area ¾ lapangan, sementara orang Spanyol menyebut peran trequartista dengan sebutan “Enganche”, yang berarti pengait. Entah disebut apa kalau sama orang Bojong.  Secara sederhana trequartista adalah pemain yang berada di ¾ lapangan dan berposisi belakang striker. Trequartista memiliki peran dalam tim untuk mengoordinasi serangan. Bukan hanya mengatur tentang kapan serangan itu dimulai, tetapi juga bagaimana, dengan cara apa dan siapa saja yang terlibat dalam setiap serangan yang mereka buat. Lebih dari itu, otak dan nyawa permainan serta tanggung jawab kelancaran aliran bola dari lini tengah ke lini depan berada di kaki para trequartista. Ibarat sebuah tim adalah roti, maka trequartista adalah kismis yang memberi cita rasa dan gairah. Layaknya sebuah orkestra, trequartista merupakan dirigen yang mengiringi dan menjadi ruh pentas tersebut. Mereka memainkan bola di kakinya dengan seni. Keberadaan mereka di lapangan memberikan ketenangan serta kegeniusannya akan menentukan arah permainan.

Sama dengan KH. Wahab Hasbullah, beliau ibarat Trequartista dalam sepak bola: jenderal permainan yang bukan saja memahami kapan masa bertahan dan kapan masa menyerang, tapi juga fasih memainkan gerakan tanpa bola. Di saat bersamaan, seorang Trequartista juga jeli membaca taktik dan strategi permainan lawan. Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah yang lahir di Jombang pada 31 Maret 1888 merupakan pendiri Nahdatul Ulama bersama KH Hasyim Asyari.  Ayahnya, KH Hasbulloh Said, merupakan pengasuh Pesantren Tambakberas di Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Nyai Latifah. Gelarnya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia baru disematkan pada 7 November 2014 oleh Presiden Joko Widodo. Ijtihad politik yang dilakukan dan dimotori Wahab, betapapun kontroversial, berhasil membuka mata siapapun bahwa NU memiliki massa konkret yang berkekuatan besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Beliau juga memahami bahwa sebagai sebuah ijtihad, apa yang dilakukannya bisa benar dan bisa salah. Namun, ia juga tidak lupa bahwa keduanya, baik ijtihad yang benar maupun yang salah, sama-sama mendapatkan pahala. Wahab Hasbullah sosok yang dikenal sebagai ahli ushul fikih (metodologi penelusuran hukum Islam). Sikap dan pandangannya selalu lentur. Di banyak persoalan kehidupan sehari-hari atau bahkan persoalan politik dan kenegaraan, Wahab terkenal dengan pandangannya yang luwes  dan out of the box.

Abdul Wahab Hasbulah tidak saja mendirikan organisasi-organisasi di bawah NU untuk mewadahi kebutuhan-kebutuhan para Nahdiyyin, tetapi juga mendirikan media-media masa milik NU. Abdul Wahab Hasbulah adalah seorang ulama besar yang memplopori kebebasan berfikir dalam kalangan umat Islam Indonesia. Abdul Wahab Hasbulah adalah pribadi yang banyak bertindak dari pada berbicara, sekalipun ia berpikiran modern, ia tidak pernah meninggalkan nilai-nilai tradisional.

Peran KH. Abdul Wahab Hasbullah Pada GP. ANSOR

Peran penting Abdul Wahab Hasbullah juga dapat dilihat dalam keterlibatannya di Nahdlatul Ulama dengan mendirikan organisasi Ansor. Keberadaan Ansor berdiri berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul ditubuh Nahdlotul Wathan, organisasi yang bergerak di bidang pendidikan Islam pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. Abdul Wahab Hasbullah berperan penting dalam membentuk organisasi Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor.

Pendirian organisasi tersebut didahului oleh perdebatan dengan tokoh berpengaruh dalam perkembangan keislaman di tanah air pada sekitar tahun 1922. Salah seorang tokoh dimaksud adalah KH. Mas Mansur yang biasanya selalu hadir dalam rapat persiapan pembentukan organisasi Syubbanul Wathon. Perdebatan pun berlangsung seru dan masing-masing kubu bersiteguh pada pendapatnya sendiri-sendiri.

Kubu pengikut Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan nama Da’watus Syubban (Panggilan Pemuda), sedang kubu KH. Mas Mansur (Pemuda dari Muhammadiyah) mengusulkan nama Mardi Santoso, pertemuan bersejarah itu akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Sampai kemudian KH. Mas Mansur memisahkan diri dan masuk Muhammadiyah. Jabatan kepala guru Nahdlatul Wathan akhirnya di serahkan kepada ulama muda, KH. Mas Alwi Bin Abdul Aziz. Sebagaimana spirit pendiriannya, Ansor harus senantiasa mengacu pada nilai dasar Sahabat Ansor yakni sebagai penolong pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.

Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul wshab hasbulloh –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO). Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah.

Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH Machfudz Siddiq, KH A Wahid Hasyim, KH Dachlan

Peran KH. Abdul Wahab Hasbullah di NU dan Masyumi

Dalam hal berpolitik, keputusannya yang paling fenomenal -jika tidak mau dikatakan kontroversial- adalah ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952. Alasan Wahab sangat sederhana: NU hanya dijadikan sapi perah bagi masyumi. NU bagi Masyumi, menurut Wahab, kurang lebih seperti adagium bahasa Arab wujuduhu kaadamihi, adanya sama belaka dengan ketiadaannya.

Maklum saja, sebab di dalam tubuh Masyumi kala itu banyak bermunculan tokoh-tokoh modernis yang kerap memberi pandangan peyoratif kepada kalangan politisi NU yang berlatar pesantren. Mereka menganggap bahwa orang-orang pesantren tidak mengerti apa-apa soal politik, apalagi soal urus-mengurus negara. Mr. Saleh, seorang Muhammadiyah yang merupakan perwakilan salah satu unsur kaum modernis yang juga Walikota Yogyakarta, pada kongres Masyumi tahun 1949 mengatakan, politik bukan urusan sekitar pondok dan pesantren. Masalah politik terlalu luas untuk hanya sekadar didiskusikan sembari menggenggam tasbih. Ucapan ini tentu saja menjadi bahan bakar pemicu ledakan kemarahan orang-orang NU.

Keadaan makin parah dengan tidak diberikannya pos Menteri Agama yang menjadi jatah langganan NU. Kaum nahdliyin kian merasa hanya menjadi sapi perahan. Padahal suara Masyumi mayoritas berasal dari basis massa NU. Sikap Wahab, yang kala itu menjabat sebagai Rais Aam PBNU, sangat tegas: NU mesti keluar dari Masyumi. Atas sikap tersebut, banyak pihak menilai bahwa Wahab adalah tokoh pertama yang harus dimintai tanggung jawab jika terjadi perpecahan umat Islam. Namun, kondisi menunjukkan hal yang berbeda. Pada Pemilu 1955, NU berkibar dengan bertengger di urutan nomor tiga. Suara Masyumi tergerus. Lima tahun kemudian, Masyumi dibubarkan Sukarno karena beberapa tokohnya terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.

Sejatinya, dua tahun sebelum berbulat niat untuk memutuskan keluar dari Masyumi, Wahab sudah memberi sinyal kepada siapapun, utamanya warga NU. Sinyal tersebut belakangan dibakukan menjadi “Kredo Pergerakan”, yang diucapkan di Jakarta pada 1950. “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang dimilikinya.

Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa. NU sesungguhnya berpegang pada ideologi politik keagamaan yang meletakkan prioritas tertinggi pada proteksi sosial terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Kesimpulan seperti ini tidak begitu mengagetkan jika dibidik dari kacamata tradisi keilmuan pesantren. Kalangan santri memahami bagaimana mengaplikasikan teori kepemimpinan paling fundamen: tsaharruful imãm alar raiyyah manūthun bil maslahah (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan). Menariknya, kalangan Masyumi menilai Wahab sebagai sosok bertangan besi yang kerap menggunakan otoritas kekiaiannya untuk siasat politik. Ia bukan saja lihai dalam memanfaatkan modal politik, namun juga berwatak otokratik dan suka mendahului. Mereka yang berseberangan pandangan politik itu lupa, sesungguhnya Wahab lah faktor tunggal mundurnya NU dari Masyumi.

Abdul Wahab Hasbullah meninggal di Jombang, 29 Desember 1971, 49 tahun lalu. Beliau wafat di usia yang tergolong sepuh, 83 tahun, dan masih menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Empat puluh satu tahun setelah wafatnya, persisnya pada 7 November 2014, Wahab ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional. Bagi kaum nahdliyin, para ulama, termasuk Wahab Hasbullah, bukan sekadar pahlawan nasional. Mereka adalah pahlawan umat manusia.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahawa Kiai Wahab Hasbullah adalah sosok yang memberikan kontribusi besar terhadap perjuangan bangsa Indonesia dan lingkup yang lebih kecil turut membidani lahirnya NU, sebuah organisasi keagamaan juga bisa disebut sebagai organisasi pergerakan Islam tradisional. Sumbangsihnya menunjukkan kepada kita bahwa bagaimana seorang tokoh atau pemimpin memiliki kewajiban penuh untuk melakukan hal tersebut secara amanah. Beliau adalah seorang ulama tradisional yang mempunyai pemikiran modern, progresif, dan moderat, ketika melihat kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan pola pribadatannya direcoki yang sebenarnya satu agama yang hanya berbeda pola pribadatan dan pola pikir yang berkaitan dengan persolan cabang dari persoalan keagamaan tersebut, Kiai Wahab sebagai seorang yang mengetahui bahwa seharusnya hal tersebut diberikan solusi dengan jalan menghormati, mencoba menjembatani dan menyelesaikan permasalahan dengan cara musyawarah agar kelompok yang menekan jangan mencaci maki.

Penulis : Hendra Setiawan
Aktif di PKPT IPNU Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro

Admin Redaksi
Saya adalah administrator IPNU IPPNU BOJONEGORO ONLINE . . .